Pada 8 Maret 2024, terdapat laporan kasus antraks muncul di Kabupaten Sleman dan Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tim dari Balai Besar Veteriner Wates melakukan investigasi dan pengujian laboratorium. Hasilnya menunjukkan adanya kasus positif antraks pada sampel darah sapi dan tanah dari desa Serut, Kecamatan Gedangsari, Gunung Kidul, serta sampel tanah dari desa Gayamharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman. Wabah antraks yang berulang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan perlunya pemahaman masyarakat terkait teror wabah antraks. Lalu, sebenarnya apa itu antraks?
Antraks merupakan salah satu penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan yang dapat menular ke manusia, hingga dapat mengakibatkan kematian. Di samping itu, antraks ditetapkan sebagai salah satu dari 25 jenis penyakit yang menyebabkan kematian tinggi pada hewan, menimbulkan kerugian ekonomi, dan menyebabkan keresahan masyarakat berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/Kpts./OT.140/3/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis. Antraks disebabkan oleh infeksi bakteri Bacillus anthracis, yang dapat menyerang pada hewan ternak (sapi, domba, dan kambing) maupun manusia. Bakteri ini dapat bertahan hidup dalam kondisi ekstrem dengan membentuk spora, yang dapat aktif kembali hingga menginfeksi ternak. Pada tanah dengan kondisi kation kalsium tinggi, lembab, pH netral, atau cenderung basa menjadi tempat untuk spora antraks melakukan dorman, sehingga dapat bertahan lama di tanah hingga 60 tahun.
Bentuk Antraks pada Manusia dan Pencegahan Penularan
Para peternak dan pengolah hasil ternak memiliki risiko tinggi terinfeksi bakteri antraks, karena berhubungan erat dengan kontak langsung dengan hewan ternak. Terdapat tiga bentuk antraks yang dapat menyerang manusia, yaitu:
1. Antraks kulit
Merupakan bentuk paling umum dan terjadi akibat kontak langsung dengan produk hewan yang terkontaminasi. Orang dengan luka terbuka di kulit berisiko lebih tinggi terkena anthrax kulit. Setelah paparan dengan bakteri antraks, biasanya gejala muncul 1–7 hari setelahnya.
2. Antraks Inhalasi
Merupakan infeksi antraks yang terjadi akibat menghirup spora bakteri antraks. Hal itu dapat terjadi misalnya ketika memproses bulu atau kulit dari hewan ternak yang terinfeksi. Infeksi biasanya berkembang setelah 7 hari hingga 2 bulan sesudah paparan terhadap spora.
3. Antraks gastrointestinal
Merupakan infeksi antraks yang terjadi akibat konsumsi daging yang terkontaminasi spora antraks yang tidak dimasak dengan baik. Pada kasus ini akan muncul gejala seperti mual, muntah, sakit tenggorokan, sulit menelan, dan diare.
Salah satu upaya pencegahan antraks yaitu dengan vaksinasi hewan ternak. Vaksinasi merupakan langkah utama dalam mencegah hewan ternak terinfeksi dan mengurangi risiko penularan kepada manusia. Hewan yang rentan terhadap antraks seperti sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, secara rutin harus divaksinasi terhadap penyakit antraks. Selain itu, pengendalian dan pengawasan kesehatan hewan ternak sangat penting dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengisolasi hewan yang terinfeksi. Peternak perlu memahami langkah dalam pemusnahan bangkai hewan yang mati dengan benar, yaitu membakar bangkai atau mengubur hewan mati sedalam 3 meter, lalu siram dengan desinfektan dan taburi kapur.
Edukasi kepada masyarakat tentang risiko dan cara pencegahan antraks juga penting untuk dilakukan, terutama bagi mereka yang bekerja dekat dengan hewan ternak atau produk hewan. Apabila mendapati hewan ternak sakit dan mati secara mendadak, masyarakat perlu melaporkan ke petugas peternakan atau dinas peternakan setempat. Selain itu, masyarakat tidak diperbolehkan membawa hewan sakit keluar wilayah agar penyakit tidak menyebar ke wilayah lain dan segera membersihkan diri dengan sabun atau disinfektan saat melakukan kontak dengan hewan ternak terinfeksi. Sangat dihimbau bahwa tidak diperbolehkan menyembelih dan mengonsumsi daging yang berasal dari hewan yang sakit antraks.
Pencegahan antraks di Indonesia memerlukan kerjasama dari beberapa pihak dan sebagai penerapan dari konsep one health. Kesadaran tentang cara penularan dan pencegahan antraks dapat membantu mengurangi risiko infeksi baik pada hewan maupun manusia. Kerjasama antara pemerintah, petugas kesehatan, peternak, industri daging, dan masyarakat luas sangat diperlukan untuk mencegah penyebaran penyakit ini di Indonesia.
Referensi:
- Bower, W. A., Yu, Y., Person, M. K., et al. (2023). CDC Guidelines for the Prevention and Treatment of Anthrax, 2023. Recommendations and Reports, 72(6), 1–47.
- Carlson, C. J., Kracalik, I. T., Ross, N., et al. (2019). The global distribution of Bacillus anthracis and associated anthrax risk to humans, livestock, and wildlife. Nature Microbiology, 4(8), 1337-1343
- Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. (12 Maret 2024). Kementan Respon Cepat Kejadian Anthrax di Gunung Kidul dan Sleman. https://ditjenpkh.pertanian.go.id/berita/1820-kementan-respon-cepat-kejadian-anthrax-di-gunung-kidul-dan-sleman.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Petunjuk Teknis Pencegahan dan Pengendalian Antraks. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
- Sari, Ihda & Apriliana, Silvia. (2020). Gambaran Umum, Prevalensi, dan Pencegahan Antraks pada Manusia di Indonesia. BALABA: Jurnal Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara. 135-148. 10.22435/blb.v16i2.3401.